laman

Senin, 14 November 2011

Kurban, Korban, dan Pengorbanan

sebuah cerpen ditulis oleh : Aprilia Fitriyani (B.Indonesia 2008)


Kidung-kidung azan bersenandung merdu dari ufuk barat ke ufuk timur. Pagi ini kami telah menyiapkan semuanya. Peralatan penyembelihan hewan, timbangan, kantong-kantong plastik, hingga sistem pengambilan hewan kurban pun telah fiks didiskusikan. Syafira, Bu Kulsum, dan Kholik  siap menjadi tim pembagian di depan. Sementara itu, Pak Jumri dan kawan-kawan bertugas menyembelih, memotong, menimbang, hingga membungkus hewan kurban tersebut. Sedangkan aku dan petugas kepolisian siap mengawasi jalannya acara pembagian hewan kurban

Usai salat Idul Adha, semua panitia bergegas menuju halaman belakang masjid. Di halaman belakang masjid inilah hewan kurban diistirahatkan. Selain diberi penginapan, mereka juga diberi makan dan minum. Agar kesehatannya tetap terjaga, hewan kurban dari beberapa masyarakat yang mampu berkurban ini dicek kesehatannya oleh tim medis dari rumah sakit daerah. Setelah semuanya siap, penyembelihan pun dimulai. “Bismillahirohmanirohim. Allahu Akbar!” Golok tajam Pak Jumri segera memotong urat nadi hewan kurban itu. Darah memancar dan membasahi golok miliknya.

Lagi-lagi. Hari ini, peristiwa itu terulang kembali. Puluhan bahkan ratusan orang berjubel memenuhi area parkir masjid Ar Rahman. Pagar-pagar pembatas yang telah disiapkan pun telah jebol diterjang massa. Petugas kepolisian seolah kualahan menahan laju gerak para pengantri penerima hewan kurban. Sungguh pemandangan yang tak asing lagi bagi kami. 

Malam takbir Idul Adha, kami telah menyediakan kupon pengambilan hewan kurban. Data-data terkait siapa saja yang mengambil pun telah kami himpun sejak satu bulan yang lalu. Rasanya miris jika kejadiannya harus seperti ini. 

Radio Ar Royan mengabarkan bahwa hari ini 15 orang terluka akibat terinjak-injak oleh warga yang ingin mengambil bagian hewan kurban. Lima dari mereka terpaksa dibawa ke rumah sakit daerah karena terluka parah. Aku terpojok lemas di dekat pintu kantor BPH saat dikabarkan terdapat satu orang meninggal karena peristiwa itu.

Kholik yang sedaritadi menemaniku terus berusaha menenangkanku. Tadi ia berlari dari tempat pembagian kurban, mengejarku, dan menemukanku dengan muka memar karena kena pukul massa. “Istiqfar, Mas. Istigfar”, ucapnya. “Kenapa tiap tahun selalu seperti ini?”, hertakku. Kholik tak mampu berbuat banyak. “Duh cengengnya aku ya Robb. Kenapa baru segini saja aku sudah bercucuran air mata?”.


Siang menjelang dhuhur itu kerumunan warga juga belum hilang. Antrean panjang masih saja menghadang hingga jalan protokol depan masjid. Panitia masih tetap bekerja. Dari 10 sapi, 15 kambing, dan 5 kerbau, semuanya dipotong, ditimbang, dibungkus, dan dibagikan. “Sya, itu dagingnya bawa ke sini. Cepat!”, perintah Bu Kulsum. Keringatnya yang mengucur membasahi jilbab lapisnya tanda betapa lelahnya ia. Sampai sesiang ini pun ia belum istirahat. “Sudah habis, Bu”, ucap Syafira. “Habis?”, tanya Bu Kulsum seolah tidak percaya.
Dengan hati berdegup, Bu Kulsum menyampaikan pengumuman. “Maaf Ibu-ibu, Bapak-bapak, Adik-adik, Mas-mas, Mbak-mbak. Daging kurbannya sudah habis”. “Huuuuhhhuuuhhhh!!!”, teriakan massa menyambut ucapan Bu Kulsum. 

“Syafira menunduk!”, pekik Fadli dari arah pintu BPH. “Hampir saja!”, kata Bu Kulsum sambil menarik lengan Syafira hingga ia jongkok bersamanya dibawah meja tempat pengambilan hewan kurban.  Fadli, Kholik, dan Pak Jumri segera berlari ke arah anak dan ibu itu.

“Cepat pergi dari sini!”, perintah Pak Jumri. Dibawah kendali petugas kepolisian, Syafira dan Bu Kulsum diungsikan ke tempat yang aman. Mereka dibawa masuk ke kantor BPH. “Kunci pintunya, Bu”, perintah petugas kepolisian saat sampai di depan kantor. Petugas itu pun berlari kembali. Mereka beradu dengan kerumunan massa, menenangkan warga, dan membubarkannya dengan tertib. 

Rintik-rintik air hujan mulai datang mengguyur kerumunan warga. Anteran panjang mulai terurai. Banyak yang menangis karena tidak satu pun bungkusan hitam yang mereka bawa. Ada yang terluka karena tubuhnya terinjak-injak. Ada yang merintih karena tak menemukan anggota keluarganya. Dan dari kaca jendela, Syafira pun hanya bisa melihat luapan emosi manusia yang beradu dengan lembutnya hati para takmir masjid Ar Rahman dan petugas kepolisian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar